Sesekali mengingat masa lalu adalah baik, menimbulkan energi baru untuk menghadapi masalah terkini. Barangkali darinya ada pelajaran yang bisa diambil, atau sekedar pengalaman unik yang mengundang senyum bahkan tawa. Adalah aku yang mempunyai kebiasaan merendahkan, seringali memandang buruk orang lain di awal pertemuan. Tidak baik memang, sangat, tapi begitulah aku.
Semakin lama aku hidup, semakin aku menyadari bahwa diri ini masih jauh dari kata baik. Betapa banyak keburukanku yang Allah tutupi dari padangan manusia, yang mana ketika mereka ketahui, pastilah mereka akan heran. Aku tidak sebaik yang orang lain kira, meski mungkin juga tak seburuk yang diri ini sendiri takar dan bandingkan terhadap orang lain. Terlepas dari ketidaktahuanku terhadap kondisi sebenarnya orang lain, bagiku, diri ini masih jauh dari kata baik.
Semua tentang ke-aku-an tidakkah kau perhatikan? Ya ini pun kekurangan diriku, egois. Aku terlalu berpatokan pada diri untuk menjadikannya standar bagi orang lain. Padahal jelas bahwa setiap orang itu unik, punya perbedaan. Entah itu kelebihan ataupun kekurangan. Jika ditanya seberapa besar kontribusiku untuk umat ini pastilah tak akan seberapa dibanding kenikmatan dan hikmah yang kudapatkan kala selama ini berada di lingkungan yang kondusif nan nyaman ini. Amalku cacat, barangkali sesekali niat berbelok, pun kondisinya hanya ala kadarnya. Bukannya ingin merendahkan suatu amalan, tetapi memang begitu adanya, amalan yang minim bagi seorang yang mengharapkan bergabung dengan mereka yang paling tinggi tingkatan surganya. Siapa mereka? Para Nabi, Orang2 yang benar/jujur, para syahid, ataupun orang- orang sholeh yang termaktub dalam Quran Surah An-Nisaa ayat 69, yang Allah katakan sebagai sebaik- baiknya teman. Adakah aku termasuk satu di antaranya? atau barangkali bisa bersama dengan mereka dengan amalanku yang cacat?
Beruntungnya, Rasul SAW juga mengatakan bahwa kita akan ditempatkan bersama dengan orang- orang yang kita cintai. Tapi pertanyaannya, adakah diri benar- benar mencintai Rasul SAW? Benarkah sudah benar- benar beriman? Aku takut hatiku ternyata berkata tidak. Atau barangkali hati berusaha meyakinkan tetapi amalanku justru bertentangan. Hanya kata- kata saja yang mampu membohongi. Bukankah memang selalu begitu orang- orang munafik. Manis yang dikata, tapi sebenarnya hati bergejolak tidak seirama dengan perkataan, pun begitu perbuatan.
Aku tak ingin menjadi seorang munafik yang ditempatkan di kerak neraka, yang dihimpun bersama orang- orang yang ingkar, bahkan dimasukkan lebih dahulu ke dalam Jahannam. Tetapi, amalanku begitu memperlihatkan ciri- ciri munafik. Aku yang seringkali lalai akan amanah, aku yang saat sholat sering lupa rakaat, aku yang sering ingin menampakkan diri di tengah banyak orang dengan niat yang bercampur antara mencontohkan dengan menampakkan. Memang aku tak pantas untukmu, Jannah. Tapi, aku juga tak ingin termasuk golongan yang dimasukkan ke Jahannam.
Tolong bantu aku terhindar darinya sebelum terlambat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar