Adakah kesempatan bagi diri yang kurang belajar dari kesalahan sebelumnya?
Apakah memang ini jalanku yang telah ditentukan? Hidup dalam persembunyian, mati dalam kehinaan, dibakar di perapian paling panas.
Penyesalan selalu datang belakangan.
Tapi sampai kapan begini lalu begitu?
Menyesal, taubat, lalu berbuat salah lagi.
Aku takut, tak mau dan tak akan mampu menghadapi siksaan neraka.
Tapi aku juga tak merasa pantas di surga, meski ingin.
Ya semua orang ingin surga, tapi seringkali dusta.
Tak sejalan antara harapan dengan perbuatan untuk mendapatkan yang diharapkan.
Padahal semua jelas, ada aturan yang berlaku.
Apakah kita layaknya boneka yang dipaksa bersandiwara dengan peran- peran yang ditentukan, ataukah seperti kumpulan fungsi- fungsi IF pada kodingan program?
Yang pertama tak mungkin ada pilihan, tapi yang kedua memungkinkan adanya pilihan dan konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Jika begini maka begitu. Jika beriman dan baik, maka surga. Jika kufur dan buruk, maka neraka.
Aku pilih konsep kedua. Tapi rasanya konsep pertama seirama dengan diriku. Membuat diri terus bertanya apakah memang tempatku bukan di surga?
Aku pernah menuliskan, bahwa berteman dengan orang- orang baik dan tinggal di lingkungan baik membuat diri kita menjadi baik atau sekedar terlihat baik. Jadi aku yang mana? Kamu yang mana?
Apakah memang tertular menjadi lebih baik? Atau sekedar terlihat baik tapi sebenarnya tidak baik?
Jika ada virus penjangkit kebaikan, aku harap dia menjangkitiku.
Jika pun ada, aku takut antibodiku lebih kuat, sehingga mampu membunuh virus kebaikan itu.
Kebaikan tak mungkin bersatu dengan keburukan. Aku sadar itu kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar