Kamis, 26 Juli 2018

Jam Karet, Kebudayaan Bangsaku


Jam Karet, Kebudayaan Bangsaku

Tau kan maksudnya jam karet? Ya ngaret, telat, terlambat. Trus kok membudaya? Budaya itu kan ciri khas, berarti bangsa Indonesia cirinya ngaret dong. Ya gitulah yang dirasakan kini. Gak hanya di tingkat mahasiswa, tapi juga dosen, jajaran dekan, itusih yang saya tau. Lalu yang secara umum kita tau seperti Commuter Line, naik kereta berasa naik angkot, yang jadwalnya gak bisa diterka, gak pasti. Untung aja banyak commuter linenya.

Sebenernya harus gimana sih menyikapi saudara kita yang terlambat? Kita diperintahkan untuk selalu berhusnuzon kepada saudara- saudara kita. Dan memang begitulah seharusnya. Memang ujian kesabaran diri. Tapi ya gitu juga yang diajarkan agama, kewajiban menepati janji biarlah terbebankan pada diri kita. Tapi tentu kita juga tau bahwa kita diperintahkan untuk saling menasehati. Maka memang ada baiknya kita tidak hanya memaklumi saudara kita yang terlambat. Kita tanya alasannya, kita tegur, kita nasehati. Tentunya dengan cara yang baik, sesuai adab dan bahasa yang halus. Jangan sampai nasehat kita mental hanya karena sikap dan perkataan kita yang tidak baik.

Untuk diri kita sendiri, tanamkan rasa bersalah saat kita telat. Karena biar bagaimana pun juga, janji adalah janji yang harus ditepati. Apalagi jika kita pun sudah paham bahwa menepati janji adalah salah satu ciri orang yang bertakwa. Jangan pernah menggampangkan janji. Karena kita tidak tahu perasaan orang yang kita zholimi. Mungkin terlihat biasa saja, tapi bisa jadi menyimpan dendam dalam dirinya. Buruknya lagi ketika orang tersebut ikut- ikutan membiasakan budaya ngaret. Bisa- bisa kena dosa jariah kita. Terlebih, kita juga tidak tau kesibukan orang tersebut. Betapa mengorbankan diri hanya untuk tepat waktu.

Seorang muslim yang bertakwa harusnya memegang teguh janjinya. Karena berdasarkan AlQuran surah Al Baqarah 177, letaknya sebelah kanan atas disebutkan ciri-ciri orang bertakwa yang salah satunya ya memenuhi janjinya. Maka sekali lagi, hati- hati dalam berjanji.

Ketika sekali dua melakukan kesalahan, adalah wajar untuk tidak mengulanginya lagi, bukan malah membiasakan diri pada hal yang salah. Apakah telat kesalahan yang remeh temeh? Jika iya, bukankah sekecil apa pun kesalahan atau dosa tetap tidak boleh dianggap enteng, karena dosa kecil yang dibiasakan lama- lama menjadi besar juga. Jangan lihat kecilnya dosa yang kau perbuat tapi lihatlah kepada siapa kau bermaksiat, ya tentunya Allah yang Maha Besar.  

Mirisnya, telat tuh bukan kesalahan remeh temeh loh. Telat jelas sangat merugikan. Coba bayangin kalo telat naik kereta atau bahkan pesawat ke luar negeri. Meski hanya sekian menit tetep aja kan uang kita jadi hangus. Itu untuk diri pribadi. Lah kalo janjian sama orang lain, lalu orang lain itu gak terima, bisa- bisa jadi beban dosa di hari pertimbangan amal kelak.

Juga suatu kesalahan ketika terus menerus memaklumi apa- apa yang salah. Misal ketika menjadwalkan untuk rapat jam 9, dan saat itu udah datang sebagian anggota rapat, harusnya ya mulai aja, kenapa? Karena kalo gak dimulai- mulai sama aja memberikan apresiasi untuk yang telat dan memberi hukuman untuk orang yang udah dateng tepat waktu. Padahal kan harusnya sebaliknya. Atau ya memang perlu ada denda/sanksi/hukuman terhadap orang- orang yang telat.

Lagi- lagi memang perlu diri sendiri yang sadar. Susah untuk memaksa orang lain sejalan, harus dimulai dari diri sendiri. Maka tanamkan kuat- kuat dalam hati untuk tidak membiasakan diri telat, meski kita tau yang lain telat. Karena apa yang kita lakukan harusnya karena Allah. Allah nyuruh jangan telat, jangan ingkar janji ya lakuin. Biarkan Allah aja yang membalas orang- orang yang zhalim.

#NoNgaret!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tujuan hidup di bumi

Mengapa kita tercipta di dunia ini? Heh, kok tercipta, kesannya kalo gitu kita ada begitu aja tanpa ada yang menciptakan. Baiknya gunakan &q...