Jam Karet, Kebudayaan Bangsaku
Tau kan maksudnya jam
karet? Ya ngaret, telat, terlambat. Trus kok membudaya? Budaya itu kan ciri
khas, berarti bangsa Indonesia cirinya ngaret dong. Ya gitulah yang dirasakan
kini. Gak hanya di tingkat mahasiswa, tapi juga dosen, jajaran dekan, itusih
yang saya tau. Lalu yang secara umum kita tau seperti Commuter Line, naik
kereta berasa naik angkot, yang jadwalnya gak bisa diterka, gak pasti. Untung
aja banyak commuter linenya.
Sebenernya
harus gimana sih menyikapi saudara kita yang terlambat? Kita diperintahkan
untuk selalu berhusnuzon kepada saudara- saudara kita. Dan memang begitulah
seharusnya. Memang ujian kesabaran diri. Tapi ya gitu juga yang diajarkan
agama, kewajiban menepati janji biarlah terbebankan pada diri kita. Tapi tentu
kita juga tau bahwa kita diperintahkan untuk saling menasehati. Maka memang ada
baiknya kita tidak hanya memaklumi saudara kita yang terlambat. Kita tanya
alasannya, kita tegur, kita nasehati. Tentunya dengan cara yang baik, sesuai
adab dan bahasa yang halus. Jangan sampai nasehat kita mental hanya karena
sikap dan perkataan kita yang tidak baik.
Untuk
diri kita sendiri, tanamkan rasa bersalah saat kita telat. Karena biar
bagaimana pun juga, janji adalah janji yang harus ditepati. Apalagi jika kita
pun sudah paham bahwa menepati janji adalah salah satu ciri orang yang
bertakwa. Jangan pernah menggampangkan janji. Karena kita tidak tahu perasaan
orang yang kita zholimi. Mungkin terlihat biasa saja, tapi bisa jadi menyimpan
dendam dalam dirinya. Buruknya lagi ketika orang tersebut ikut- ikutan
membiasakan budaya ngaret. Bisa- bisa kena dosa jariah kita. Terlebih, kita
juga tidak tau kesibukan orang tersebut. Betapa mengorbankan diri hanya untuk
tepat waktu.
Seorang
muslim yang bertakwa harusnya memegang teguh janjinya. Karena berdasarkan
AlQuran surah Al Baqarah 177, letaknya sebelah kanan atas disebutkan ciri-ciri
orang bertakwa yang salah satunya ya memenuhi janjinya. Maka sekali lagi, hati-
hati dalam berjanji.
Ketika
sekali dua melakukan kesalahan, adalah wajar untuk tidak mengulanginya lagi, bukan
malah membiasakan diri pada hal yang salah. Apakah telat kesalahan yang remeh
temeh? Jika iya, bukankah sekecil apa pun kesalahan atau dosa tetap tidak boleh
dianggap enteng, karena dosa kecil yang dibiasakan lama- lama menjadi besar
juga. Jangan lihat kecilnya dosa yang kau perbuat tapi lihatlah kepada siapa
kau bermaksiat, ya tentunya Allah yang Maha Besar.
Mirisnya, telat tuh bukan kesalahan remeh temeh
loh. Telat jelas sangat merugikan. Coba bayangin kalo telat naik kereta atau bahkan
pesawat ke luar negeri. Meski hanya sekian menit tetep aja kan uang kita jadi
hangus. Itu untuk diri pribadi. Lah kalo janjian sama orang lain, lalu orang
lain itu gak terima, bisa- bisa jadi beban dosa di hari pertimbangan amal kelak.
Juga
suatu kesalahan ketika terus menerus memaklumi apa- apa yang salah. Misal ketika
menjadwalkan untuk rapat jam 9, dan saat itu udah datang sebagian anggota rapat,
harusnya ya mulai aja, kenapa? Karena kalo gak dimulai- mulai sama aja memberikan
apresiasi untuk yang telat dan memberi hukuman untuk orang yang udah dateng
tepat waktu. Padahal kan harusnya sebaliknya. Atau ya memang perlu ada denda/sanksi/hukuman
terhadap orang- orang yang telat.
Lagi-
lagi memang perlu diri sendiri yang sadar. Susah untuk memaksa orang lain
sejalan, harus dimulai dari diri sendiri. Maka tanamkan kuat- kuat dalam hati untuk
tidak membiasakan diri telat, meski kita tau yang lain telat. Karena apa yang
kita lakukan harusnya karena Allah. Allah nyuruh jangan telat, jangan ingkar
janji ya lakuin. Biarkan Allah aja yang membalas orang- orang yang zhalim.
#NoNgaret!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar