Selasa, 17 Juli 2018

Sebuah Tanya Pengantar Muhasabah Diri yang Masih Buruk Beramal


Sebuah Tanya Pengantar Muhasabah Diri yang Masih Buruk Beramal
“ Apa pengalaman terbaikmu saat jadi mahasiswa ?”
Miris ketika ada pertanyaan tiba- tiba dari seorang teman di ig storynya “Selama berkuliah, apa pengalaman terbaik teman-teman?” Dan diri ini hanya bisa diam, termenung, bingung, sambil bergumam “apa ya pengalaman terbaik gue selama ini?” entah bingung karena gatau pengalaman terbaik tuh yang kayak gimana, atau memang gapunya pengalaman terbaik.

Memang pastinya definisi setiap orang beragam. Mungkin aja ada yang menilai pengalaman terbaik adalah ketika bisa mencapai prestasi ini dan itu, konferensi internasional, menjuarai lomba- lomba, atau menjadi ketua organisasi ini dan itu. Atau barangkali ada yang berpikir bahwa pengalaman terbaik sebagai mahasiswa adalah saat bisa bermanfaat langsung bagi orang lain, rajin turun aksi menyuarakan kesejahteraan rakyat, membuat penelitian dan kegiatan untuk peningkatan lingkungan dan kehidupan masyarakat, KKN, dan lain sebagainya.

Menurutku, pengalaman terbaik sebagai mahasiswa harusnya seperti pendapat kedua, yang bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, memikirkan dan benar- benar peduli masyarakat, hajat hidup orang banyak dengan segala bentuk pengabdian  masyarakat ketimbang hanya prestasi- prestasi pribadi. Ini tidak menyinggung siapa-siapa, dan tidak ingin mengecilkan prestasi atau pencapaian pribadi menjuarai berbagai ajang lomba. Karena kalo kata bang Ahmad Rifa’i Rif’an, seorang penulis buku muda luar biasa lulusan ITS, “ Tak penting siapa mereka, yang lebih penting kita termasuk yang mana?”

Sejenak terpikir olehku, pencapaianku adalah menjuarai komba- lomba Quran, atau berhasil menghafal beberapa juz AlQuran di tengah- tengah kesibukan berkuliah dan organisasi. Itu pencapaian luar biasa, tapi sepertinya tidak relevan dengan status mahasiswa. Masih ada hal lain di balik itu semua yang rasanya lebih pantas dikatakan sebagai pengalaman terbaik. Misalnya menjadi duta Al Quran dan berhasil mengentaskan buta huruf Al Quran di masyarakat, menjadi ketua lembaga yang berhasil mengadvokasi, menyejahterakan rekan- rekan mahasiswa lainnya, menyebarkan manisnya Islam ke setiap lini masyarakat.

Ternyata, prestasi atau pencapaian pribadi yang kusebutkan di atas tidak semata- mata , untuk diri pribadi. Ada nilai kebaikan di sana. Ada nilai dakwah disamping ambisi diri. Mungkin aku hanya suudzon.

Lagi- lagi harusnya memang kitayang  harus selalu berpikir positif kepada orang lain, tidak penting apa yang akan mereka katakan tentang pengalaman terbaik bagi mereka, insyaAllah semuanya pasti memiliki peran untuk sekitarnya, gak hanya diri pribadinya. Dan bukankah berprestasi itu juga penting, terlebih bagi seorang aktivis dakwah. Itu juga bagian  dari dakwah.

Dan yang terpenting, apa kabar diri? Apakah pencapaianmu selama ini? Adakah pengalaman terbaik selama menjadi mahasiswa atau bahkan selama hidup? Apa karyamu untuk masyarakat? barangkali untuk pribadi aja gak ada? Kamu menjuarai lomba Quran, udah berdampak untuk sekitar? Keluargamu ? Teman- temanmu? Kamu jadi ketua Lembaga dakwah, udah sebesar apa dampak dakwahmu?

Jangan- jangan memang amalku yang masih sedikit. Prestasiku yang masih minim. Belom maksimal beramal. Atau tidak benar- benar memikirkan umat. Berhentilah memikirkan diri pribadi aja. Bermanfaatlah dan berprestasi itu bukan hal yang saling bertolak belakang. Ayo bangkit, evaluasi diri, tengok kembali target-targetan diri, dan berprestasilah serta bermanfaat!

Sepertiga malam terakhir
Di Indonesia Quran Foundation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tujuan hidup di bumi

Mengapa kita tercipta di dunia ini? Heh, kok tercipta, kesannya kalo gitu kita ada begitu aja tanpa ada yang menciptakan. Baiknya gunakan &q...