Jumat, 27 September 2019

Memang aku tak pantas untukmu

Sesekali mengingat masa lalu adalah baik, menimbulkan energi baru untuk menghadapi masalah terkini. Barangkali darinya ada pelajaran yang bisa diambil, atau sekedar pengalaman unik yang mengundang senyum bahkan tawa. Adalah aku yang mempunyai kebiasaan merendahkan, seringali memandang buruk orang lain di awal pertemuan. Tidak baik memang, sangat, tapi begitulah aku. 
Semakin lama aku hidup, semakin aku menyadari bahwa diri ini masih jauh dari kata baik. Betapa banyak keburukanku yang Allah tutupi dari padangan manusia, yang mana ketika mereka ketahui, pastilah mereka akan heran. Aku tidak sebaik yang orang lain kira, meski mungkin juga tak seburuk yang diri ini sendiri takar dan bandingkan terhadap orang lain. Terlepas dari ketidaktahuanku terhadap kondisi sebenarnya orang lain, bagiku, diri ini masih jauh dari kata baik. 

Semua tentang ke-aku-an tidakkah kau perhatikan? Ya ini pun kekurangan diriku, egois. Aku terlalu berpatokan pada diri untuk menjadikannya standar bagi orang lain. Padahal jelas bahwa setiap orang itu unik, punya perbedaan. Entah itu kelebihan ataupun kekurangan. Jika ditanya seberapa besar kontribusiku untuk umat ini pastilah tak akan seberapa dibanding kenikmatan dan hikmah yang kudapatkan kala selama ini berada di lingkungan yang kondusif nan nyaman ini. Amalku cacat, barangkali sesekali niat berbelok, pun kondisinya hanya ala kadarnya. Bukannya ingin merendahkan suatu amalan, tetapi memang begitu adanya, amalan yang minim bagi seorang yang mengharapkan bergabung dengan mereka yang paling tinggi tingkatan surganya. Siapa mereka? Para Nabi, Orang2 yang benar/jujur, para syahid, ataupun orang- orang sholeh yang termaktub dalam Quran Surah An-Nisaa ayat 69, yang Allah katakan sebagai sebaik- baiknya teman. Adakah aku termasuk satu di antaranya? atau barangkali bisa bersama dengan mereka dengan amalanku yang cacat?

Beruntungnya, Rasul SAW juga mengatakan bahwa kita akan ditempatkan bersama dengan orang- orang yang kita cintai. Tapi pertanyaannya, adakah diri benar- benar mencintai Rasul SAW? Benarkah sudah benar- benar beriman? Aku takut hatiku ternyata berkata tidak. Atau barangkali hati berusaha meyakinkan tetapi amalanku justru bertentangan. Hanya kata- kata saja yang mampu membohongi. Bukankah memang selalu begitu orang- orang munafik. Manis yang dikata, tapi sebenarnya hati bergejolak tidak seirama dengan perkataan, pun begitu perbuatan. 

Aku tak ingin menjadi seorang munafik yang ditempatkan di kerak neraka, yang dihimpun bersama orang- orang yang ingkar, bahkan dimasukkan lebih dahulu ke dalam Jahannam. Tetapi, amalanku begitu memperlihatkan ciri- ciri munafik. Aku yang seringkali lalai akan amanah, aku yang saat sholat sering lupa rakaat, aku yang sering ingin menampakkan diri di tengah banyak orang dengan niat yang bercampur antara mencontohkan dengan menampakkan. Memang aku tak pantas untukmu, Jannah. Tapi, aku juga tak ingin termasuk golongan yang dimasukkan ke Jahannam.

Tolong bantu aku terhindar darinya sebelum terlambat...

Rabu, 18 September 2019

Lebih mulia dari yang lainnya (?)

Tulisan ini berisikan curahan perasaan dan pikiran, bukan tentang seseorang, melainkan banyak orang yang semoga benar ku cintai karena Allah.

Semua santri memang manusia biasa, yang tentu ada sisi baik dan buruk dari dirinya. Patutnya memang tidak menyamaratakan antara satu dengan yang lainnya. Setiap orang memiliki standar yang berbeda- beda, tetapi program tentu menuntut suatu batasan standar yang dinilai bisa dan harus dicapai oleh setiap individu.

Dalam pelaksanaan Quran Time yang notabene merupakan program utama Tahfizh Smart, Mahasantri Ikhwan program Tahfizh Smart 8 sangatlah beragam. Ada yang memang serius dan fokus dalam berQuran time, ada yang dikalahkan oleh kesibukan organisasi di kampus, ada yang sibuk mengobrol, ada yang sedikit- sedikit makan, ada yang curi2 waktu untuk chatting ataupun mengerjakan tugas, ada juga yang dengan mudahnya dikalahkan oleh kantuk.

Meskipun sudah menginvestasikan waktunya untuk Quran time, nyatanya masih banyak yang tidak bisa berfokus bersama Quran ketika sedang QT. Bukankah hal tersebut seperti percuma? Buat apa meluangkan waktu jika ternyata masih saja tidak bisa fokus dan maksimal. Barangkali tetap ada kebaikaan, tetapi tidak maksimal, alhasil targetan tak tercapai. Dan meski target ziyadah atau murajaah atau Tilawah tercapai tetap saja kurang, tidak maksimal, karena yang dituju bukanlah sekedar intensitas yang dibaca, melainkan presentase waktu dalam sehari bersama Quran.
Teman- teman seperjuangan bisa jadi penguat bagi diri. Teman yang rajin akan turut memotivasi individu lainnya lewat keteladanan yang ditampilkan. Semangat berlomba- lomba dalam kebaikanlah yang turut mengistiqomahkan untuk tetap kuat bersama Quran meski telah seharian disibukkan oleh urusan- urusan perkuliahan.

Namun, teman juga bisa jadi setan, pantas saja guru2 TAUD mendoktrinkan kepada para santrinya agar senantiasa berlindung dari godaan setan dan teman. Di saat QT, ada saja yang sibuk mengajak temannya mengobrol, kadang bukanlah hal yang berkaitan dengan Quran, melainkan bercandaan belaka. Atau ada juga yang dengan santainya bermain HP atau tertidur, sehingga turut menjadi hujjah bagi yang lainnya untuk melakukan keburukan yang sama.

Orang bisa dilihat keikhlasannya dalam berbuat dengan melihat kondisi diri baik ada dan tidak adanya orang lain, entah yang mengawasi layaknya SPV, atau Musyrif, barangkali juga teman- teman seperjuangan. Maka tanyakanlah pada diri, sudahkah kamu berQuranTime karena Allah? Lalu mengapa saat tidak ada pengawasan yang ketat dari musyrif dan SPV kamu berbuat sesukanya, tidur, bermain hp, dsb. Sudahkah kamu benar- benar mengalokasikan waktumu untuk Quran saat Quran Time? Mengapa masih saja sebentar- bentar menengok HP, mengapa kantuk saja tidak bisa kau kalahkan? Dan mengapa perizinan kau anggap hal yang remeh temeh, padahal kamu beriman?

Sejatinya, setiap santri memiliki tujuan mulia, memiliki alasan yang kuat mengapa berasrama dan menghafal Quran. Barangkali mereka sedang lupa, maka tugas kita hanya mengingatkan. Tetapi, apabila ketika sudah diingatkan masih saja tidak berubah, artinya ada yang salah pada diri, dan barangkali solusinya adalah dengan meninggalkan asrama ini.



Quran Time Malam,
19 Muharram 1441 H
18 September 2019
Aula Indonesia Quran Foundation

Selasa, 03 September 2019

Setiap orang itu unik, dan pada setiap kunikan ada yang baik dan ada yang buruk. Mampukah kita untuk berfokus pada kebaikan dan bukan pada keburukan? Seringkali sulit, nila setitik mampu merusak susu sebelangak memang. Lantas bagaimana bisa menjadi orang yang selalu melihat baik pada diri orang lain meskipun jelas orang itu memusuhi dirimu? 

Aku beritahukan satu hal. Sebenarnya musuh diri kita itu hanya ada 2, satu di dalam diri dan satunya lagi di luar diri. Seandainya kita bisa mengatasi musuh di dalam diri, maka tak akan ada daya upaya bagi musuh dari luar diri untuk mengalahkan diri kita. Musuh di dalam diri kita adalah hawa nafsu yang cenderung mengarahkan pada keburukan, sedangkan di luar diri kita yang ada hanya godaan setan dalam berbagai bentuk. Jika kau mampu membendung nafsumu yang mengarahkanmu berbuat keburukan maka kau akan mampu mengalahkan godaan setan di luar dirimu. 

Layaknya munafik dan kafir, yang tentu lebih bahaya munafik, si musuh dalam selimut, karena nampak samar- samar, sekilas terlihat muslim tapi ternyata kafir. Salah- salah ketika diri lalai, banyak yang akhirnya terbunuh oleh tusukan dari belakang diri. Seringkali bukan tusukan pedang yang mampu membunuh, melainkan pedang berupa pemikiran menyimpang yang merusak generasi. Sedangkan yang kafir hanya mampu memberikan perlawanan dari hal yang nampak jelas. Tentu ketika kau mampu mengetahui orang- orang munafik dari kelompokmu, atau mampu mengatasi fitnah- fitnah mereka, maka ukhwuah antar muslim akan semakin menguat dan akhirnya bersatu padu dan mampu mengalahkan orang- orang kafir.

Begitulah diri, jika nafsumu mampu kau kurung dan mengarahkannya pada kebaikan, tak akan mampu setan menggoda diri, terlebih ketika akhirnya dengan nafsu baik, pikiran menjadi positif, persaudaraan kau jaga erat, yang ada hanya pikiran positif kepada sesama. Hingga akhirnya tak hanya saling tolong- menolong yang kau lakukan, tapi juga menanggung beban saudaramu bahkan bersedia berkorban mendahuluku saudaramu ketimbang dirimu sendiri. 

Aku tahu ini hanya nafsu belaka yang seharusnya mampu ku kalahkan, bukan menjadikan alasan perbuatan maksiat yang ku lakukan.

Cinta itu fitrah, dan fitrah manusia berada dalam kesucian, maka bukan cinta namanya jika justru mengarahkanmu pada terenggutnya kesucian. 

Allah lah yang mensucikan siapa yang Dia kehendaki, maka cinta itu dari Allah datangnya, sedangkan yang membawa kepada keburukan adalah dari setan dan itu bukan cinta, tetapi hanya nafsu belaka. 


Tujuan hidup di bumi

Mengapa kita tercipta di dunia ini? Heh, kok tercipta, kesannya kalo gitu kita ada begitu aja tanpa ada yang menciptakan. Baiknya gunakan &q...