Sebuah Tanya Pengantar Muhasabah Diri yang
Masih Buruk Beramal
“ Apa pengalaman terbaikmu saat jadi mahasiswa
?”
Miris
ketika ada pertanyaan tiba- tiba dari seorang teman di ig storynya “Selama
berkuliah, apa pengalaman terbaik teman-teman?” Dan diri ini hanya bisa diam,
termenung, bingung, sambil bergumam “apa ya pengalaman terbaik gue selama ini?”
entah bingung karena gatau pengalaman terbaik tuh yang kayak gimana, atau
memang gapunya pengalaman terbaik.
Memang
pastinya definisi setiap orang beragam. Mungkin aja ada yang menilai pengalaman
terbaik adalah ketika bisa mencapai prestasi ini dan itu, konferensi
internasional, menjuarai lomba- lomba, atau menjadi ketua organisasi ini dan
itu. Atau barangkali ada yang berpikir bahwa pengalaman terbaik sebagai mahasiswa
adalah saat bisa bermanfaat langsung bagi orang lain, rajin turun aksi
menyuarakan kesejahteraan rakyat, membuat penelitian dan kegiatan untuk
peningkatan lingkungan dan kehidupan masyarakat, KKN, dan lain sebagainya.
Menurutku,
pengalaman terbaik sebagai mahasiswa harusnya seperti pendapat kedua, yang
bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, memikirkan dan benar- benar peduli
masyarakat, hajat hidup orang banyak dengan segala bentuk pengabdian masyarakat ketimbang hanya prestasi- prestasi
pribadi. Ini tidak menyinggung siapa-siapa, dan tidak ingin mengecilkan
prestasi atau pencapaian pribadi menjuarai berbagai ajang lomba. Karena kalo
kata bang Ahmad Rifa’i Rif’an, seorang penulis buku muda luar biasa lulusan
ITS, “ Tak penting siapa mereka, yang lebih penting kita termasuk yang mana?”
Sejenak
terpikir olehku, pencapaianku adalah menjuarai komba- lomba Quran, atau
berhasil menghafal beberapa juz AlQuran di tengah- tengah kesibukan berkuliah
dan organisasi. Itu pencapaian luar biasa, tapi sepertinya tidak relevan dengan
status mahasiswa. Masih ada hal lain di balik itu semua yang rasanya lebih
pantas dikatakan sebagai pengalaman terbaik. Misalnya menjadi duta Al Quran dan
berhasil mengentaskan buta huruf Al Quran di masyarakat, menjadi ketua lembaga
yang berhasil mengadvokasi, menyejahterakan rekan- rekan mahasiswa lainnya,
menyebarkan manisnya Islam ke setiap lini masyarakat.
Ternyata,
prestasi atau pencapaian pribadi yang kusebutkan di atas tidak semata- mata ,
untuk diri pribadi. Ada nilai kebaikan di sana. Ada nilai dakwah disamping
ambisi diri. Mungkin aku hanya suudzon.
Lagi-
lagi harusnya memang kitayang harus
selalu berpikir positif kepada orang lain, tidak penting apa yang akan mereka
katakan tentang pengalaman terbaik bagi mereka, insyaAllah semuanya pasti
memiliki peran untuk sekitarnya, gak hanya diri pribadinya. Dan bukankah
berprestasi itu juga penting, terlebih bagi seorang aktivis dakwah. Itu juga
bagian dari dakwah.
Dan yang
terpenting, apa kabar diri? Apakah pencapaianmu selama ini? Adakah pengalaman
terbaik selama menjadi mahasiswa atau bahkan selama hidup? Apa karyamu untuk
masyarakat? barangkali untuk pribadi aja gak ada? Kamu menjuarai lomba Quran,
udah berdampak untuk sekitar? Keluargamu ? Teman- temanmu? Kamu jadi ketua Lembaga
dakwah, udah sebesar apa dampak dakwahmu?
Jangan-
jangan memang amalku yang masih sedikit. Prestasiku yang masih minim. Belom
maksimal beramal. Atau tidak benar- benar memikirkan umat. Berhentilah
memikirkan diri pribadi aja. Bermanfaatlah dan berprestasi itu bukan hal yang
saling bertolak belakang. Ayo bangkit, evaluasi diri, tengok kembali
target-targetan diri, dan berprestasilah serta bermanfaat!
Sepertiga
malam terakhir
Di
Indonesia Quran Foundation